REFLEKSI DARI SURAT ASY-SYU’ARA

Lini masa saya penuh dengan pembahasan soal surat pemusik, antara pro dan kontra saling berdebat dan adu argumentasi, disambung dengan adu gengsi dan saling caci maki nampaknya. Allahulmusata’an 

Perdebatan sebelumnya ada pada bahasan seputar hukum musik, yang sebetulnya telah tuntas di kitab klasiknya para ulama, tapi saya kira perdebatan tersebut meski berulang tetap relevan dan cukup substansial. Nah sialnya, perdebatan kali ini dipicu hanya gegara masalah istilah, kan nganu yak, berasa jadi melangkah mundur ke belakang hitungannya.

Tapi ya sudahlah ya, saya kira setiap orang punya hal penting yang ingin diperjuangkan, dan nilai suatu hal bisa berbeda tergantung mata yang memandang. Yang sepele dalam pandangan saya mungkin hal yang perlu dibela mati-matian bagi seseorang. Baiqla~

Tapi tahukah anda apa bagian terlucu dari keributan ini? 

Yaitu kenyataan bahwa isi surat yang sedang diperdebatkan memuat kisah sepak terjang dakwah para Nabi, di mana dahulu mereka bersusah payah berdakwah supaya orang kafir masuk Islam, tapi mirisnya sekarang orang dengan mudahnya mengeluarkan yang sudah Islam jadi kafir dengan alasan “hujjah telah tegak,” cenah.

Hujjah apa yang telah tegak dan siapa yang menegakkannya, tidak tahu juga saya. Yang saya tahu cuma satu hal: ada yang tegak tapi bukan keadilan. Duh, jadul banget ya. Maap maap. 

Tapi sekali lagi, yaudahlah ya, daripada ikut larut dalam keributan yang gak mutu, mari saya beritahu anda funfact yang ada di surat Asy-syu’ara ini.

Ada 7 nabi yang diangkat kisahnya di surat ini; Musa, Ibrahim, Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib. Semuanya kompak mengatakan hal yang sama saat mereka menyampaikan risalah langit; “Aku tidak meminta upah dari kalian, upahku sudah diatur oleh Tuhan semesta alam,” kecuali Musa dan Ibrahim, tidak terekam di sana ucapan ini dari lisan mereka. 

Mengapa demikian? Ini sisi menariknya.

Jawabannya karena Fir’aun dan Azar adalah bagian dari objek dakwah kedua Nabi ini, oleh karenanya mereka tidak berada dalam posisi strategis untuk menyeru dan mengucapkan kalimat semacam ini, kenapa?

Sebab Fir’aun adalah orang tua angkat Musa, dan Azar ayah Ibrahim; well ada penafsiran yang mengatakan bahwa Azar ini bukan ayahnya melainkan pamannya, whatever, karena poinnya bukan di situ. Poinnya adalah mereka berjasa dan berkontribusi dalam proses tumbuh kembang kedua nabi ini. Sehingga bisa diterka lah ya bagaimana situasinya dan mengapa saya bilang mereka tidak berada di posisi yang cukup strategis? Ya, begitulah~

Tapi bagaimanapun, kisah-kisah nabi ini mengajarkan satu pelajaran penting yang sama-sama perlu kita catat; idealnya, para juru dakwah adalah orang yang mandiri secara finansial, tidak mencari makan dari aktivitas dakwahnya, sebab sedikit banyaknya ini akan berpengaruh pada independensinya, seorang juru dakwah perlu ‘selesai’ dengan dirinya sendiri supaya bisa optimal dalam dakwahnya. 

Pertanyaanya: kita, apa kabar?

Ah, iya. Kalau anda penasaran dari mana saya dapatkan referensi ini, bisa dirujuk ke buku bashair dzawi at-tamyiz, Fairuz Abadi. Antisipasi aja sih, mana tau ada yang mau komen, “siapa ulama sebelum antum yang bilang begitu?”

Ehe :v~

One Reply to “”

Tinggalkan komentar