Filosofi Teko

“Teko hanya akan menumpahkan apa yang ada di dalamnya”

Itu quote yang seketika terlintas ketika melihat gambar ini. Saya jadi sedikit berfikir dan banyak tersindir dibuatnya.

Jika teko menuangkan minuman segar yang menghilangkan dahaga, berarti memang begitulah isi teko tersebut. Jika yang tertuang adalah air keruh berbau busuk, berarti seperti itu pula sisa air yang tertampung di dalam teko.

Saya tidak tahu isi teko sampai saya menuangkannya. Bisa juga sih diterka apa isinya, jika itu jenis teko khusus yang memang lazim digunakan untuk minuman tertentu, atau jenis teko transparan yang isinya bisa diterawang dari luar. Tapi tetap saja, saya akan cenderung menuangkannya jika penasaran tentang isinya, setidaknya untuk memastikan.

Beberapa teko tampak biasa saja tapi berisi minuman segar yang menyehatkan. Beberapa lainnya terlihat indah di pandangan, semerbak aroma kopi yang menjanjikan, tapi siapa yang tahu ternyata di dalamnya sudah tercampur sianida yang mematikan?. Penampilan luar benar-benar tidak bisa dijadikan standar ya.

Teman saya bilang begini, “teko kan memang cuma ngeluarin yang ada di dalemnya,” ketika mengomentari seseorang yang terbiasa berkata-kata kasar. Menurutnya, kata-kata kotor yang keluar dari mulut seseorang menjadi indikasi kotornya jiwa dia. Ucapan itu refleksi jiwa, begitu sederhananya. Kalau kata seorang penyair, “inna al-kalâma lafî al-fuâdi. Wainnamâ ju’ila al-lisânu dalîlâ”, perkataan itu sejatinya di dalam hati, sementara lisan jadi alat ekspresi, gitu.

Makanya ketika ada teman yang mengomentari konten blog saya dengan ungkapan begini, “bahasan lu mah gak jauh-jauh: cinta, rindu, hati, cinta, rindu, hati 🤧,” saya auto tertohok dong, seolah komentarnya terdengar begini, “ya elah bang, idup lu kebanyakan drama, bucin lu!” Soalnya kan tulisan dan perkataan itu sama-sama refleksi pemikiran dan gagasan. Kalau bahasanya imam al-ghazali mah, “mata pena adalah satu di antara 2 lisan.”

Walaupun sebetulnya saya bisa saja berapologi untuk sekadar menanggapi komentarnya netijen mah lah ya. Tapinya daripada itu, btw yang di gambar bukannya gembor? Terus kenapa jadi teko wuy?!

9 Replies to “Filosofi Teko”

    1. Tulisan berupa kata-kata kasar yang ditulis dengan penuh kesadaran, berdasarkan pilihan, tanpa paksaan, ya bisa setara dengan ucapan kasar dengan kondisi serupa. Tulisan atau ucapan kan sama2 bentuk ekspresi. Buktinya, dua2nya bisa masuk delik hatespeech UU ITE (kalo gak salah), ehe~

      Cuma perlu juga dibangun kedewasaan komunikasi, dibiasakan tabayun sebelum tersinggung. Bisa jadi beberapa kata dipandang kasar di lingkungan tertentu, tapi tidak demikian di lingkungan yg lain. Belajar memaklumi sebelum menuntut buat dimaklumi. Wkwkk

      Disukai oleh 1 orang

  1. Kadang ada orang yang berkamuflase, semacam jika dia bersama orang yang alim, maka dia akan jadi alim. namun jika dia bersama orang yang sering nongkrong di kopi sambil main domino, maka dia akan jadi selayak itu..
    Nah kalau gitu, bagaimana sejatinya dirinya?

    Suka

    1. Yang kamuflase begitu munafik bukan sih bang? Ada tuh di 2:14 tentang fenomena ini. Sialnya setiap kita sering bersikap munafik, huhu.

      Ya yg begini baiknya memang buat reminder masing2, bukan buat menuding orang lain. Kalau memang ada di lingkungan kita yg begitu, barangkali itu jatah kita buat lebih sering ngajak dia ke kebaikan, biar kitanya juga jadi istikamah.

      Suka

Tinggalkan komentar