DEKAT DAN TAKWA

Al-Qur’an mengabadikan kisah pengorbanan dua anak manusia, keduanya mendapat instruksi yang sama; perintah mempersembahkan hal terbaik yang mereka punya. Meski begitu, respon keduanya berbeda; manusia memang memiliki kecenderungan berbeda dalam merespon sesuatu bukan? 

Jika anda masih menerka-nerka siapa yang sedang kita bicarakan, maka jawabannya adalah dua putra Nabi Adam as; Habil dan Qabil. Habil mempersembahkan kambing terbaik dari ternak yang ia miliki, sementara Qabil menyuguhkan sayur mayur dengan kualitas yang kureng.  

Jika ketakwaan bersemayam di dalam hati, maka tindak tanduk, tutur kata, gestur tubuh, bisa disebut sebagai cerminannya. Ibarat sebuah teko, ia hanya akan menumpahkan yang ada di dalamnya. Teko berisi teh takkan pernah menghasilkan secangkir kopi latte. Hati juga demikian, hati yang baik akan memancarkan berbagai kebaikan.

Habil berkurban dengan penuh tanggung jawab yang menjadi refleksi dari sikap takwanya. Qabil berlaku sebaliknya. Dan Allah yang Maha Baik hanya menerima hal-hal yang baik, sementara puncak kebaikan adalah yang didasari dengan ketakwaan. 

Kambing persembahan Habil ini yang di kemudian hari dijadikan sebagai kurbannya Nabi Ibrahim as menebus posisi Ismail as. Nabi Ibrahim diuji dengan beberapa hal, dan beliau menuntaskannya dengan sempurna, dengan penuh ketakwaan, di sisi lain Allah hanya menerima persembahannya orang-orang bertakwa. Innama yataqabbalullah minal-muttaqien.

Spirit ketakwaan ini yang juga diwariskan kepada kita; umat Nabi Muhammad saw melalui syariat kurban, Allah tegaskan bahwa yang sampai kepada-Nya bukan darah ataupun daging dari si hewan, namun takwa yang melatarbelakanginya.

Jadi, kurban kambing montok yang dilandasi takwa lebih baik daripada kambing kurus kering yang tanpa didasari takwa. Atuh itu mah no debat lah ya~ 

Ritual pengorbanan bukan hanya dilakukan oleh kaum muslimin. Namun, di antara agama samawi lainnya, hanya kaum muslimin yang masih melaksanakan hal ini, setidaknya sependek yang saya ketahui sampai saat ini. Dan Islam mengajarkan beberapa bentuk kurban dengan konteks yang beragam, misalnya; udlhiyah, hadyu, fara’, ‘atirah, dan ‘aqiqah. Mari kita sedikit ulas perbedaan di antara kelimanya.

Udlhiyyah dari kata dlahiyyah, dari akar yang sama ada kata dluha. Udlhiyyah secara bahasa maknanya hewan yang disembelih di waktu dluha, itulah mengapa hewan kurban yang disembelih di hari raya ini disebut udlhiyyah, ke situ juga nisbah frasa idul adlha bermula.

Hadyu, secara bahasa berakar pada dua makna, yang pertama bermakna memberi arahan, darinya kita temukan kata huda yang berarti petunjuk atau hidayah. Yang kedua berarti pemberian atas dasar kebaikan, darinya kita dapati kata hadiyyah

Merujuk pada makna kedua ini terminologi al-hadyu dalam konteks ibadah haji; yaitu hewan ternak yang disembelih oleh jamaah yang melaksanakan haji tamattu’ atau qiran dan ‘dihadiahkan’ kepada penduduk haram.

Fara’, makna asalnya merujuk pada hal yang mencuat muncul ke permukaan, naik, atau tinggi, darinya logika cabang tumbuhan disebut dengan far’un, kata ini juga biasa digunakan untuk mengungkapkan keturunan karena memiliki pertalian dari induknya, dari sini juga orang Arab menyebut anak pertama unta dan kambing mereka dengan kata fara’, yang dalam kultur masyarakat jahiliah dahulu biasa disembelih dan dipersembahkan sebagai bentuk rasa syukur untuk berhala-berhala mereka. Lalu Rasulullah saw datang, mempertahankan tradisinya, namun menghilangkan syirik dan menggantinya dengan tauhid. 

‘Atirah, pada mulanya merujuk pada makna sesuatu yang tercecer, Ibn Faris mengatakan bahwa beberapa bangsa Arab menyebut tanaman marjoram dengan nama al-’itru, sebab tanaman tersebut tumbuh secara sporadis dan terpisah-pisah, dari kata ini pula istilah ‘itrah digunakan, maknanya kerabat dari nasab yang beragam. 

Kata ‘atirah digunakan oleh masyarakat jahiliah untuk menyebut hewan yang disembelih di 10 hari pertama bulan Rajab, disebut demikian karena darah hewan tersebut mengalir dan tercecer, konon darahnya disiramkan ke kepala berhala-berhala mereka. Saat Islam datang, tradisinya dipertahankan dan dipersembahkan untuk Allah semata.

‘Aqiqah, pada mulanya bermakna membelah, darinya ada kata ‘uquq yang berarti durhaka, sebab perilaku ini membelah hubungan orangtua – anak. Pun dengan rambut yang tumbuh membelah kulit kepala, disebut sebagai ‘aqiqah. Maka ungkapan ‘aqqa arrajulu ‘an ibnihi, berarti seseorang mencukur ‘aqiqah/rambut anaknya, dan di saat yang sama ia dianjurkan untuk menyembelih kambing. 

Maka, pada mulanya ‘aqiqah itu sebutan untuk rambut pertama seseorang, sekali ia dipangkas namanya ikut terpangkas. Lalu melebarlah penyebutannya untuk hewan yang disembelih di momen tersebut; di hari ketujuh selepas seorang bayi manusia dilahirkan.

Baik ‘aqiqah, fara’, ‘atirah, dan udlhiyyah, keempatnya sama-sama bentuk rasa syukur seorang hamba pada Allah, bedanya adalah momentum dan sebab. 

‘Aqiqah rasa syukur atas nikmat karuniai anak, fara’ rasa syukur atas hewan ternak yang sudah beranak, sementara udlhiyyah dan ‘atirah sama-sama bentuk rasa syukur atas nikmat kehidupan, perbedaan keduanya ada di waktu pelaksanaan, udlhiyyah hanya bisa dilakukan di hari raya idul adlha dan hari-hari tasyrik, sementara ‘atirah bisa dilakukan kapanpun seseorang berkehendak. 

Jika ditambah hadyu, maka kesamaan dari kelimanya adalah sama-sama refleksi ketakwaan, tujuannya untuk mendekatkan diri pada pencipta, dan itulah esensi dari kurban.

Kurban berakar pada kata yang sama seperti kata karib dan kerabat, artinya ya dekat; teman karib ya teman dekat, kerabat ya saudara dekat. Kita tidak melakukan pengorbanan jika kita tidak punya kedekatan, atau minimal keinginan untuk menjadi dekat. 

Bukankah pdkt seorang crush diwujudkan dalam bentuk perjuangan dan pengorbanan, berjuang cari perhatian, berkorban waktu dengerin curhatan, berkorban bensin dan uang jajan buat ajak jalan. Walau tidak jarang responnya, “kita temenan aja ya.” Ya gapapa, setidaknya sudah berjuang~

Seperti kedekatan dua insan, kedekatan hamba dengan Allah memiliki pola yang agak serupa, walillahi al-matsal al-a’la.

Maka pada mulanya kurban bermakna segala hal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembelih hewan yang dipersembahkan untuk-Nya hanya salah satu bentuk ekspresi yang Rasulullah saw ajarkan. 

Kelima hal yang disebutkan di atas adalah kurban, sedekah yang kita keluarkan untuk memakmurkan masjid Allah juga kurban, zakat yang kita tunaikan dari harta kita adalah kurban, wakaf yang kita berikan juga kurban, segala bentuk ketaatan dan kebaikan yang spiritnya untuk mendekatkan kepada Allah adalah kurban.

Jika ada pertanyaan berulang yang bernada cibiran bersama dengan momen idul adlha, seperti: “tahun ini kurban apa? Kurban perasaan (lagi)?” Tidak usah baper, mantapkan saja tekad bahwa kita berkorban perasaan, dalam rangka menjaga diri dari hubungan yang tidak halal, spiritnya adalah ketaatan, harapannya semakin dekat dengan yang Maha Rahman.

Sementara bagi orang-orang yang perasaannya sedang saling berdekatan, semoga selalu dituntun agar tetap berada dalam radar kebaikan, dan tiada yang lebih baik bagi orang-orang perasaannya saling tertaut selain pernikahan. 

Sebab, kedekatan antara dua manusia yang kosong dari nilai hanyalah kesia-siaan, dan jika pernikahan adalah tanda kekuasaan Allah serta bagian dari syiar agama-Nya, maka mengawal perjalanan menuju padanya agar tetap berada dalam bingkai ketaatan adalah bagian dari mengagungkan syiarnya. Sementara Allah katakan, “sesiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah sungguh itu merupakan pancaran dari ketakwaan hatinya.” 

Takwa, selalu menjadi nilai tertinggi seorang hamba, bukan? 

Selamat hari raya idul adlha, semoga kedekatan kita menjadi wasilah semakin dekat dengan-Nya, bukan sebatas euforia sesaat yang dekat dengan kenihilan.

تقبل الله منا ومنكم صالح الأعمال. كل عام ونحن إلى الله أقرب

One Reply to “”

Tinggalkan komentar